• RSS
  • Facebook
  • Twitter
Comments

PEMUDA MASAKINI atau PEMUDA MISKIN?
Oleh: El-Faqirah binti M. N. Salim


Jantungku bergetar saat kau ada di dekatku

Mungkinkah diriku telah jatuh cinta pada dirimu

Sebisa diriku untuk melupakanmu

Namun ku tak bisa

Kau pun selalu ada dalam hatiku

Demikian kiranya cuplikan lirik lagu yang berjudul “Kehadiranmu” milik Vagetoz yang saat ini sedang marak menghiasi panggung hiburan kaula muda.

Pemuda dengan segala kebanggaannya mendeklarasikan modernisasi dengan segala unsur-unsurnya. Mulai dari pemuda yang berprofesi sebagai pengamen jalanan sampai pekerja kantoran, jika mendengar dentum lagu itu bergema pasti semua akan manggut-manggut menikmati dan hanyut dalam irama. Otot-otot dan syaraf yang tegang menjadi fresh kembali secara otomatis, seakan-akan lagu-lagu itu tukang pijit professional. Lebih krisis lagi, para santripun ikut terbuai menikmati hiburan yang sesungguhnya kurang relevan dengan status kesantriannya. Sebenarnya, media dengan segala kecanggihannya telah menyediakan hiburan yang sangat cocok dinikmati para santri yaitu lagu-lagu nasyid Islami serta lagu-lagu sholawat nabi yang keberadaannya tidak dipungkiri lagi bahwa syairnya dapat menyejukkan kalbu bahkan sebagai jembatan untuk bertaqarrub dengan Robbnya. Namun, lain kenyataannya. Lagu-lagu religi tersebut hanya sebagai pengantar saat akan berlangsungnya acara-acara keagamaan saja, sedangakan sebagai hiburan perdetik dan permenitnya adalah lagu-lagu yang sedang trend di pasaran. Dari sini dapat disimpulkan bahwa kegemaran santri sekarang tidak ada bedanya dengan kegemaran awam al-qoum, (sangat ironis!). Mereka berasumsi, jika di zaman modern ini tidak mengenal hiburan-hiburan yang sedang marak dibilang katrok, kuper, kolot, ndeso dan tidak gaul. Ternyata faham “gaulisme” telah menggerogoti jiwa santri yang ujung-ujungnya kwalitas kesantrian makin merosot grafiknya.

Ada lagi pemuda yang dengan bangga menunjukkan identitasnya sebagai anggota kelompok punk dengan model dandanan mirip suku Indian yang operasinya di jalanan sebagai pengganggu pengguna jalan, khusunya para cewek. Adapula pemudinya, dengan bangga mempertontonkan aurat yang sebenarnya harus ditutup rapat-rapat, tidak boleh ada seorangpun yang melihatnya kecuali mahram dan suaminya. Padahal jika dipikir dalam-dalam dan direnungkan tinggi-tinggi disertai cakrawala yang luas, perbuatan membuka aurat itu ibarat membuat lubang untuk kubur sendiri. Betapa tidak, karena dengan mempertontonkan aurat itu, berarti mempersilakan nyamuk jalanan untuk hinggap, mengisap bahkan mempermainkannya. Style minimalis itu sebenarnya merupakan undangan atau tantangan tidak langsung, “Nih, nikmatin kulit mulus saya, silakan gigit dan zinai.. ." Atau dengan kata lain, membuka aurat adalah menyuguhkan diri untuk disantap. Na’uzdu billah min dzalik.

Kini banyak orang mengatakan bahwa menutup aurat sudah tidak up to date lagi dengan arus perkembangan zaman, baik itu arus globalisasi atau “gombalisasi” pada aspek negatif, ataupun pengaruh aspek “setanisasi” pada segi perbuatannya. Banyak orang menilai dan beranggapan bahwa yang disebut aurat bagi perempuan adalah sebatas payudara dan vagina, sedangkan bagi laki-laki cukup hanya bagian batang kemaluan saja, sedangkan yang lain adalah milik publik, ikut-ikutan go public, milik umum. Siapa saja boleh memiliki, merasakan, melihat dan menikmati. Rupa-rupanya kiblat manusia sudah terbalik. Kiblat manusia sudah berpindah dari Makkah ke Negara-negara Barat. Orang sering mengatakan bahwa segala bentuk dan model Barat itulah yang paling maju dan modern dengan tidak melihat hakikat sesungguhnya. Sticker "Western" di temple di mana-mana.

Ada beberapa tujuan mengapa Islam mewajibkan menutup aurat, diantaranya yaitu:

Pertama, menjaga kehormatan diri. Seorang mahasiswi yang setiap kali pergi ke kampus dan di manapun dia berada selalu menutup aurat, maka teman-temannya akan salut padanya, bahkan dosennya pun akan hormat dan salut padanya. Lain halnya yang tidak menutup aurat, maka temannya akan sembrono dan tidak sungkan-sungkan lagi untuk menggodanya, karena pada hakikatnya sudah dipersilahkan.

Kedua, melindungi diri dari pandangan dan perbuatan zina. Laki-laki yang tipis imannya pasti akan terangsang dan terbersit niat jahat jika melihat wanita dengan aurat terbuka, dan pada ujung-ujungnya terjadilah perzinaan, lalu siapakah yang akan disalahkan?

Ketiga, sebagai perhiasan. Dengan mengenakan pakaian, manusia diharapkan akan lebih cantik, lebih indah dan mengesankan.

Keempat, pengenalan identitas diri. Dalam agama Islam dengan adanya pakaian penutup aurat ini, dapat diketahui bahwa seseorang tersebut mencintai keselamatan, kadar iman dan agamanya.

Kelima, kebahagiaan menjelang pernikahan. Seorang lelaki yang belum pernah melihat aurat calon istrinya, akan lebih banyak merasakan nikmatnya pada jenjang pernikahan nanti. Berbeda dengan wanita yang setiap harinya membuka aurat, maka yang dicari suami pada jenjang pernikahan nanti hanyalah puncaknya saja.

Memang, tidak mungkin di zaman sekarang kita menghindari pengaruh globalisasi dan modernisasi, tetapi setidaknya kita menyaring segi positif manakah yang perlu kita ikuti dan segi negatif manakah yang harus kita abaikan. Karena apa guna akal yang telah diberikan Allah kepada kita sebagai pembeda antara makhluk-makhluk yang lain? Cukuplah pertanyaan ini sebagai bahan renungan bagi diri kita masing-masing.[]

Al-Ittihad.group

Categories: